Sabtu, 03 September 2011

KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA


BUDAYA,NORMA-NORMA, ADAT ISTIADAT, BAHASA DAN STEREOTIP SUKU BUGIS SULAWESI SELATAN

Di Provinsi Sulawesi Selatan terdapat berbagai macam suku yang bercampur baur satu sama lain, namun cukup ada empat suku yang besar di wilayah ini, yakni: Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Dengan beragamnya suku tidak membuat suatu perbedaan bagi masyarakat Sulawesi Selatan.
Saya sendiri berasal dari Suku Bugis asli dan sebagai suku yang dikenal sebagai perantau dan pelaut yang tangguh, bugis tidak hanya meraih sukses di daerahnya saja, mereka bahkan merambah seluruh wilayah Indonesia. Boleh dikatakan bahwa diseluruh wilayah Indonesia pasti ada orang bugis, itu dapat dibuktikan dengan kegigihan orang bugis dalam meraih sukses di negeri rantau. Tidak hanya sampai disitu, perantauan orang bugis juga sangat dikenal di berbagai Negara di dunia. Hal ini didukung dengan peralatan transportasi yang cukup hebat, yakni Perahu Pinisi. Perahu ini cukup dikenal di berbagai belahan dunia, dengan perahu ini orang bugis bisa berlayar keseluruh penjuru dunia.
            Ketangguhan para pelaut bugis-makassar merupakan suatu asset yang luar biasa bagi Sulawesi Selatan pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Seiring berjalannya waktu, keaslian suku bugis sudah mulai dipudar, hal ini didasari atas tuntutan zaman. Kita sudah sulit membedakan antara orang bugis asli dengan orang bugis-makassar atau orang bugis-mandar. Perkawinan dan perantauan menjadikan suatu keberagaman yang dijadikan satu.
            “SIRI PARANRENG, NYAWA PA LAO”, demikian sepenggal kalimat dalam bahasa bugis yang artinya kira-kira seperti ini : “Apabila harga diri telah terkoyak, maka nyawa lah bayaran nya”. Begitu tinggi makna dari siri ini hingga dalam masyarakat bugis, kehilangan harga diri seseorang hanya dapat dikembalikan dengan bayaran nyawa oleh si pihak lawan bahkan yang bersangkutan sekalipun. Kata siri sendiri dalam bahasa indonesia berarti malu. Namun, dalam masyarakat bugis, apabila seseorang menyisipkan kata “siri” ini dalam kata-kata atau dialog dalam sebuah permasalahan atau percekcokan, maka berhati-hatilah, bisa dipastikan bahwa masalah tersebut adalah masalah serius. Sebenarnya, adat mempertahankan harga diri bukan hanya didominasi oleh suku bugis saja, tapi semua suku pasti merasa tidak senang apabila hal yang satu ini diinjak-injak. Tapi, pada kenyataannya, dalam kehidupan masyarakat bugis, adat mempertahankan siri ini betul-betul dijunjung tinggi ketimbang hal-hal yang lain. Sepertinya, hal yang satu ini memang sudah mendarah daging bagi hampir semua suku bugis yang ada di sulawesi selatan khususnya, maupun yang ada diperantauan pada umumnya. Tak jarang, suku bugis memilih lebih baik mati sekalian di negeri orang, daripada harus pulang ke tanah bugis dengan menanggung malu. Tanpa memandang rendah suku-suku lainnya, suku bugis ini memang terkenal dari dahulu dengan ikon keberaniannya. Darah panas yang mengalir, membuat tak sembarang orang yang mau bermain-main dengan suku yang satu ini. Bukan berarti kejam atau bengis, tapi itulah kenyataannya. Namun, dibalik semua itu, suku yang satu ini terkenal dengan kesetiakawannya. Orang bugis sangat pandai bergaul dengan suku-suku pendatang lainnya, bahkan tak sedikit juga orang bugis yang mau mati demi membela harga diri teman bahkan yang berlainan suku sekalipun akan mereka bela apabila orang tersebut sudah betul-betul ia anggap sebagai saudara.
            Ini fakta, saya sebagai orang Bugis asli sudah berkali-kali melihat fenomena ini dalam kehidupan sehari-hari, hal yang satu ini memang sudah tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat bugis, bahkan sebagian masyarakat bugis sampai sekarang masih mengenal sistim balas dendam, seseorang yang meninggal sebelum sempat membalas atas harga dirinya yang diinjak-injak, wajib dibalaskan oleh keturunannya kemudian. Namun, fenomena dosa turunan ini sudah tidak begitu kental lagi di tanah bugis, sebab sebagian masyarakat bugis sadar bahwa kebiasaan tersebut bertentangan dengan ajaran agama islam, agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat bugis umumnya.

A.      Acara Adat (pesta panen)
            1.Mappadendang
Adalah salah satu acara yang merupakan rangkaian  kegiatan di dalam tudang sipulung. Acara ini menjadi ajang hiburan bagi para tamu yang hadir, karena di dalam mappadendang mempertunjukkan aksi menumbuk padi secara gotong royong. Selain sangat menghibur bagi hadirin juga menunjukkan suatu pernyataan sikap dan kebersamaan para petani bugis dalam hal ini selalu bergotong royong. Kegiatan Mappadendang, biasanya dilakukan sebelum acara tudang sipulung, pelaksanaanya melibatkan beberapa petani baik itu pria maupun wanita, semuanya bergerak menumbuk padi disertai gerak tarian Padendang Bugis. Wanita bertugas untuk memasukkan padi ke dalam palungeng (tempat menumbuk) sedangkan kaum pria bertugas untuk menumbuknya menggunakan alu (alat penumbuk padi). Alunan tumbukan yang seragam menghasilkan irama yang enak di dengar dan tentunya menghibur. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa konsep yang diusung di dalam mappadendang ini adalah semangat gotong royong petani untuk menghasilkan beras yang siap untuk di masak. Konsentrasi dan kedisiplinan diperlukan di dalamnya agar tidak membuat kesalahan yang dapat berakibat patal, baik itu merusak irama musik bahkan bisa membuat tangan-tangan wanita yang memasukkan padi tertumbuk oleh alu (alat penumbuk padi).

            2.TudangSipulung
Acara tudang sipulung adalah yang dibuat dalam rangkaian pesta panen rakyat atau masyarakat suku bugis. Setelah melaksanakan panen raya masyarakat melakukan ritual adat sebagai rasa syukur kepada maha pencipta yang telah memberikan hasil panen yang melimpah sekaligus juga sebagai penghargaan bagi para petani yang telah bekerja keras mengelola usaha taninya, yakni dengan ditunjukkan hasil panen yang bagus. Pelaksanaan tudang sipulung biasanya dilakukan dalam suatu areal terbuka atau lapangan atau biasa juga dilakukan di kolong rumah (panggung) pemuka adat atau kepala pemerintahan setempat. Peserta yang hadir biasanya dari seluruh petani dan keluarga tani kampung atau daerah setempat, semuanya berkumpul untuk memeriahkan acara. Mereka berbondong-bondong bersama para keluarganya, dengan membawa seluruh anak-anak mereka.

Ritual yang biasanya dilakukan di dalam acara tudang sipulung ini ada beberapa poin, selain kegiatan penyuluhan juga ada kegiatan penting yakni mappano’ ase’ (serah panen), kegiatan ini dilakukan dalam rangkaian acara syukuran. Padi yang diserah adalah padi hasil panen petani, padi biasanya di simpan di rumah ketua adat setempat atau yang dipercayakan. Selebihnya hasil panen dapat dikonsumsi atau dijual, Sedangkan untuk padi yang diserah nantinya akan dijadikan lagi sebagai benih bibit padi baru untuk musim tamam padi tahun berikutnya. Wilayah Sulawesi Selatan dikenal dengan produksi padi nasional yang cukup tinggi, dan merupakan salah satu penyumbang surplus beras nasional, maka tidak salah jika Sulawesi Selatan dijuluki dengan lumbung padi Indonesia.

 3.Mattojang
            Mattojang (ayunan raksasa) adalah bagian ketiga atau rangkaian terakhir pelaksanaan pesta adat panen raya. Ayunan raksasa ini bibuat dari tiang bambu setinggi 10-15 meter yang menjulang ke angkasa dan biberi tali sebagai gantungan ayunan. Seorang dinaikkan keatas ayunan kemudian diayun sekuat-kuatnya.

 B.Bahasa
            Orang bugis di dalam kesehariannya menggunakan Bahasa Bugis. Bahasa Bugis menggunakan ejaan yang berbeda dari bahasa lain, yakni ejaan lontara atau semacam simbol yang hanya orang bugis yang mampu membacanya. Menggunakan bahasa bugis bisa dikatakan gampang-gampang susah, karena merupakan adopsi bahasa Indonesia popular namun tidak jarang bahasa bugis ada yang sulit untuk dimengerti. Bahasa yang di gunakan saat berbicara kepada orang yang lebih tua berbeda dengan bahasa yang digunakan saat kita berbicara kepada orang yang sama derajatnya. Bahasa bugis juga sudah sulit ditemukan yang asli, artinya bisa dihitung jari orang-orang yang menggunakan bahasa bugis yang asli atau keras, hal ini dikerenakan mungkin akibat intervensi penggunaan bahasa Indonesia bagi para generasi muda.
            Kewajiban Penggunaan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah mengakibatkan generasi muda mulai melupakan bahasa daerahnya sendiri. Akan tetapi tidak jarang ada sekolah yeng khusus memberikan mata pelajaran khusus bahasa daerah bagi para siswanya. Tercampunya bahasa daerah lontara bugis juga menandakan pudarnya suatu asset berharga warisan para tetua bugis. Tetapi ada yang tidak dapat bisa utuk ditinggalkan yakni lontara itu sendiri, para orang tua atau yang dipertua (petta puang) masih menggunakan lontara di dalam kesehariannya, dan pada umumnya digunakan untuk pemetaan waktu. Orang bugis yang sangat kental masih mempercayai akan kalender lontara, untuk itu tidak jarang kalender lontara digunakan untuk menentukan waktu musim tanam yang baik, hari panen yang bagus atau bahkan untuk menentukan hari acara pesta perkawinan. Kepercayaan orang bugis akan kalender lontar memang masih sangat tinggi, dan untuk itu perlu dilestarikan oleh para generasi muda berikutnya.

 C.Makanan
            Makanan khas suku bugis adalah sokko’ (nasi ketan), namun ada yang berbeda dengan   ketan-ketan yang kita sering lihat pada umumnya, ketannya dibuat dengan tujuh buah warna yang berbeda satu sama lain, orang bugis memberinya nama sokko pitun rupa. Makanan ini sering disajikan pada setiap acara-acara adat dan keagamaan orang bugis, termasuk kegiatan tudang sipulung, baca doang, ataupun mabbarasanji, dsb. Penyajian sokko pitun rupa memang menjadi kewajiban bagi setiap kegiatan atau pesta. Biasanya disajikan bersama dengan loka panasa (pisang nagka), telur ayam matang, serta aksesoris lain yang diperlukan. Selain untuk tujuan di atas, penggunaan sokko pitun rupa juga sering digunakan untuk sesajian adat atau persembahan bagi para leluhur suku bugis. Hal ini diasumsikan dapat mendekatkan tetua adat yang meninggal kepada orang yang ditinggalakan.
D.Kue Khas
Kue khas atau yang sering di sajikan saat ada acara ada dua macam yaitu, kue kering dan kue basah. Untuk kue kering biasanya disajikan karasa’ cella dan karasa’ pute, sedangkan kue basah yakni baronggo.
a. Kue Karasa Cella, Karasa’ cella dan karasa’ pute terbuat dari tepung yang dicampur dengan gula, untuk karasa’ cella dicampur dengan ekstrak gula merah, sedangkan karasa’ pute dibuat dari campuran gula putih yang sudah digiling halus. Biasanya kue ini disajikan pada saat acara pesta perkawinan, tepatnya serahan laki kepada wanita sebagai bagian dari rangkaian pemberian mahar saat melakukan akad   nikah.
b. Kue Baronggo, Kue Baroggo merupakan kue yang dibuat khusus dari pisang. Pisang yang ditumbuk dan digiling halus dicampur dengan bahan gula, telur dan santan, kemudian dibungkus dengan daun pisang yang telah dibentuk trapezium, kemudian dikukus sampai matang. Penyajiannya biasanya dilakukan pada acara adat, menjamu tamu, hidangan pernikahan, serta kegiatan lain yang melibatkan banyakorang.

 

E.Kesenian
Kesenian orang bugis juga sangat beragam, namun yang lebih terkenal adalah kecapi bugis dan baula bugis. Kecapi bugis adalah alat musik petik sejenis gitar yang dapat menghasilkan bunyi yang merdu, pertunjukan kecapi biasanya ditampilkan pada acara penyambutan tamu, mengiringi tarian daerah, dan kegiatan adat daerah. Sedangkan baula bugis lebih sering digunakan sebagai pengiring lagu baula bugis.
 F.Olahraga
Olahraga yang menjadi kegemaran suku bugis adalah takraw. Takraw ini bukan pertandingan takraw, tetapi lebih kepada pertunjukan free style takraw. Pertunjukan Kesenian Olahraga, mengolah bola takraw dengan tubuh sudah menjadi hal yang biasa untuk menghibur orang. Pertunjukan ini sering dilakukan pada saat ada pesta panen, acara syukuran serta acara-acara ulang tahun daerah.
 G.Pesta Pernikahan
Mengenai masalah pernikahan, orang bugis melakukannya hampir mirip pesta pernikahan pada umumnya, tetapi ada hal yang berbeda yaitu kegiatan pensucian diri pengantin. Pensucian ini biasa disebut dengan nama mappacci. Mappacci dilakukan pada malam hari sebelum acara akad nikah, acara ini dihariri oleh banyak orang mulai dari keluarga dekat, kepala desa atau lurah serta tamu undangan yang diundang. Peralatan yang digunakan tidak sembarangan yakni daun nangka 7 (tujuh) buah yang di susun berbentuk kipas, bantal yang di atasnya dilapisi sarung lipa sabbe (sarung khas bugis) sebanyak 7 (tujuh) buah yang disusun menumpuk, dan tidak lupa ketinggalan daun pacci (khas bugis). Bantal, sarung dan daun nangka disusun bertumpuk, kemudian kedua telapak tangan mempelai di letakkan di atasnnya.
Pelaksanaan mappacci dilakukan khusus untuk 7 (tujuh) yang telah ditunjuk panitia(keluarga). Dimana ia mengambil daun pacci kemudian meletakkan ke telapak tangan mempelai sambil berdoa, setelah itu sisanya ditaburkan ke kepala, muka dan badan mempelai. Selanjtnya masing-masing tujuh orang berturut-turut. Setelah mappacci tibalah saatnya Mappenre’ Dui. Mappenre’ dui adalah semacam ritual yang merupakan bagian dari rangkaian akad nikah, pelaksanaannya dilakukan dengan maksud serah terima uang mahar dari pihak laki ke pihak wanita. Mappenre’ dui biasanya berupa uang yang jumlahnya tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak, ada yang 7 juta, 10 juta, atau bahkan ada yang 20-50 juta, atau bahkan di atasnya lagi tergantung status sosial kedua mempelai. Selanjutnya akad nikah selesai, kedua mempelai bisa duduk di pelaminan, waktunya beragam ada yang sehari semalam dan ada juga yang cukup sehari saja. Pesta telah selesai, kedua mempelai telah resmimenjadisuami-istri.

H.Baju Adat
Baju khas adat bugis adalah baju bodo’ bagi perempuan dan jas tutup dengan lipa sabbe’ garusu’ serta songko tobone untuk laki-laki. Baju ini lebih sering digunakan saat acara pesta pernikahan dan upacara-upacara adat. Baju bodo’ adalah baju yang terbuat dari kain mirip kertas, tipis dan transparan. Kemudian untuk bawahnya di padukan dengan lipa sabbe’ sehingga menimbulkan nuansa harmonis dan mewah bagi yang memakainya. Sedangkan bagi kaum pria menggunakan jas tutup sebagai busana, dimana pada saku tergantung aksesoris semacam logam mulia, yang disesuaikan dengan status sosial pemakainya.
 I.Rumah Adat
Rumah adat suku bugis adalah Rumah Panggung. Rumah panggung ini bukan rumah panggung sembarangan, semua kunstruksinya terbuat dari kayu, mulai dari tiang utama, tiang penyangga, lantai, rangka atap serta dindingnya. Rumah ini dibuat dari kayu besi pilihan, pemasangannya tanpa menggunakan paku, semuannya menggunakan sistem lacak’ (kunci), sehingga konstruksinya tahan gempa. Kolong rumah biasanya digunakan untuk kegiatan istirahat keluarga, atau tidak jarang juga ada yang memanfaatkannya untuk kandang ayam, itik, dsb. Konstruksi rumah ini sangat kuat dan bisa tahan untuk puluhan bahkan ratusan tahun.
 J. Stereotip Suku Bugis
Orang Bugis suka "menggunting dalam lipatan", makanya ada yang menjadi Presiden, ketua DPA dan Jaksa Agung. Orang Bugis suka “kawin cerai” makanya orang Bugis tersebar di berbagai pelosok penjuru Indonesia.
Demikian sedikit penggalan tentang fenomena adat  siri dalam kehidupan masyarakat bugis. Dan karena saya orang bugis asli, maka saya tulis sesuai dengan fakta yang terjadi sebenarnya dan tak ada yang diplesetin maupun ditambah-tambah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar