ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI
A. Pendahuluan
- Sejarah Munculnya Eksistensialisme
Secara
umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena
ketidakpuasan beberapa filosof terhadap filsafat pada masa Yunani hingga
modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan
spekulatif tentang manusia. Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu
aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya
kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat
dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam
yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi
yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.
Eksistensialisme muncul pada abad ke- 19 oleh S.
Kierkegaard (1813-1855) dan F. Nietzsche (1844-1900). Dalam abad ke- 20
eksistensialisme menjadi aliran filsafat yang sangat penting. Eksistensialisme
seolah-olah menganggap bahwa sistem pemikiran atau pengatahuan yang sudah ada
tidak mendukung kebahagiaan manusia. Oleh karena itu eksistensialisme lebih
merupakan suatu aliran yang anti intelektualisme, antideterminisme, antisistem.
Eksistensialisme berusaha menempatkan segala sesuatu sebagai bagian dari proses
hidup dan kehidupan manusia yang tumbuh dan menyejarah. Eksistensialisme
mencita-citakan kebahagiaan, kebebasan, manusiawi, menjauhkan alienasi, serta
menjauhkan autentisitas.
- Perkembangan dan Para Tokoh Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar
metodologinya berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel
(1859-1938). Beberapa pemikiran dari tokoh filsuf mengaenai eksistensialisme
yakni;
a. Soren Aabye Kiergaard, Filsuf Denmark (1813-1855)
filasafatnya untuk menjawab pertanyaan “Bagaimanakah
aku menjadi seorang individu”. Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi
krisis eksistensial (manusia melupakan individualitasnya) Kiergaard menemukan
jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang
autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam
kehidupan.
Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius
dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard menjembatani
jurang yang ada antara filsafat Hegelian
dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard terutama adalah
seorang kritikus Hegel
pada masanya dan apa yang dilihatnya sebagai formalitas
hampa dari Gereja
Denmark. Filsafatnya merupakan sebuah reaksi terhadap dialektik
Hegel.
Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama
seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi
serta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan
pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang
digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi
eksistensial.
b.
Jean-Paul Sartre
Adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan
aliran eksistensialisme. Sartre
menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède
l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama
hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu.
Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah
kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre). Menurut Sartre adanya manusia itu bukanlah “etre””
melainkan “ a etre. Artinya manusia itu tidak hanya ada tapi dia selamanya
harus membangun adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak henti-hentinya.
c. Friedrich Nietzsche, filsuf jerman
(1844-1900) Tujuan
filsafatnya adalah untuk menjawab
pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul”. Jawabannya, manusia bisa
menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur
dan berani.
d. Karl Jespers
Memandang
filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua
pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia
sadar akan dirinya sendiri. Ada
dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
e. Martin Heidegger
Martin
Hiedegger merupakan pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf saja yang
mengerti pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara sistematis.
Tujuan dari pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk menjawab
pengertian dari “being”. Heidegger berpendapat bahwa “Das Wesen des
Daseins liegt in seiner Existenz”, adanya keberadaan itu terletak
pada eksistensinya. Di dalam realitas nyata being (sein) tidak
sama sebagai “being” ada pada umumnya, sesuatu yang mempunyai ada dan di
dalam ada, dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ada sebagai
pengada. Heidegger menyebut being sebagai eksistensi manusia, dan sejauh
ini analisis tentang “being” biasa disebut sebagai eksistensi manusia (Dasein).
Dasein adalah tersusun dari da dan sein. “Da”
disana (there), “sein” berarti berada (to be/being).
Artinya manusia sadar dengan tempatnya. Inti pemikirannya adalah keberadaan
manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar
manusia selalu dikaitkan
dengan manusia itu
sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila
dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan
manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
f. F.Merleau
Ponty
Didalam bukunya phenomenology de la perception [1945]
merleau ponty mencoba untuk menarik kesimpulan-kesimpulan berdasar keadaan
manusia sebaga kesadaran didunia. Manakala manusia sebagai kesadaran
benar-benar mengarah kepada dunia melalui raganya ,maka pastilah ada kesatuan
jiwa-raga didalam diri manusia ,yang pasti terdapat pula pada setiap
perbuatanya. Dengan demikian berarti dalam batas-batas tertentu kesadaran
senantiasa bersifat ragawi dan dalam batas-batas tertentu raga selalu bersifat
kejiwaan.
Dalam hubungannya dengan metode penyelidikan kefilsafatan, hal ini berarti
bawah baik emperisme yang semata-mata mengenal pengamatan secara murni inderawi
maupun rasionalisme yang hanya mengenal pembentukan pengertian serta penjabar
secara akali harus ditolak karenanya haruslah digunakan metode fenomenologi
untuk memeperlihatkan fenomena manusia dalam bentuk penampilannya diantaranya
yang paling murni.
Maka yang pertama-tama akan tampak ialah bawah manusia tidak terungkap
sebagai obyek maupun sebagai kesadaran semata-mata, melainkan sebagai sesuatu
bentuk ada yang khusus, yang didalamnya kesadaran serta keragawiannya merupakan
aspek-aspeknya.
B. Hakikat Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara
khusus mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi
fenomenologi, atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi
terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme terhadap manusia
adalah manusia adalah benda dunia, manusia itu adalah materi, manusia adalah
sesuatu yang ada tanpa menjadi subjek.
Pandangan manusia menurut idealisme adalah
manusia hanya sebagai subjek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme
berkayakinan bahwa paparan manusia harus
berpangkalkan eksistensi, sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan
lukisan-lukisan yang kongkrit.
Eksistensialisme sendiri memandang segala
gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Pada umumnya kata eksistensi
berarti keberadaan, tetapi di dalam filsafat eksistensialisme, ungkapan
eksistensi mempunyai arti yang khusus. Eksistensi adalah cara manusia berada
didalam dunia. Cara manusia berada dalam dunia berbeda dengan cara berada
benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, juga yang satu berada
disamping yang lain, tanpa hubungan. Tidak demikianlah cara manusia berada.
Manusia berada bersama dengan benda-benda itu. Benda-benda itu menjadi berarti
karena manusia. Disamping itu, manusia berada bersama-sama dengan sesama
manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat
eksistensialisme dikatakan bahwa benda-benda “berada”, sedangkan manusia
“bereksistensi”. Jadi, hanya manusialah yang bereksistensi.
Kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar)
dan sistensi, yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu, kata eksistensi
diartikan manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya.
Manusia sadar bahwa dirinya ada.
Bereksistensi oleh Heidegger disebut Dasein,
dari kata da (di sana )
dan sein (berada) sehingga kata ini berarti berada disana, yaitu ditempat.
Manusia senantiasa menempatkan diri ditengah-tengah dunia sekitarnya sehingga
ia terlibat dalam alam sekitarnya dan
bersatu dengannya. Sekalipun demikian manusia tidak sama dengan dunia
sekitarnya, tidak sama dengan benda-benda, sebab manusia sadar akan
keberadaannya itu.
Menurut Sartre adanya manusia itu bukanlah
“etre”” melainkan “ a etre. Artinya manusia itu tidak hanya ada tapi dia
selamanya harus membangun adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak
henti-hentinya.Menurut Parkay (1998) aliran eksistensialisme terbagi dua
bersifat theistik (bertuhan) dan atheistik.
Menurut
eksistensialisme ada 2 jenis filsafat tradisional, filsafat spekulatif dan
filsafat skeptif
n
Filsafat skepekulatif
menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak berpengaruh pada individu
n
Filsafat skeptif
manyatakan bahwa semua pengalaman itu adalah palsu tidak ada sesuatu yang dapat
kita kenal dari realita. Menurut mereka konsep metafisika adalah sementara
Pendidikan Dalam Pandangan
Eksistensialisme
Karena pusat pembicaraan
eksistensialisme adalah keberadaan manusia, dan pendidikan itu sendiri hanya
bisa dilakukan oleh manusia, maka tampaklah jelas bahwa terdapat hubungan
antara eksistensialisme dengan pendidikan. Pendidikan dan eksistensialisme
bersinggungan satu sama lain dalam masalah-masalah yang sama, yakni manusia. Dalam
hubungannya dengan pendidikan, filsafat eksistensialisme dapat ditinjau dari
berbagai implikasinya, yaitu terhadap:
- Tujuan
Pendidikan
Menurut eksistensialisme
setiap orang itu adalah individu sendiri-sendiri yang tak akan mampu
berkomunikasi murni dengan individu lainnya, oleh sebab itu tujuan pendidikan
dalam pandangan eksistensialisme adalah menumpuk kemampuan individu menjadi
diri sendiri yang sebaik-baiknya walaupun tak mungkin terbina hubungan murni
dalam komunikasi sesame manusia (Rasyidin, 2007:24), dan untuk mendorong setiap
individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri, serta memberikan
bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan. Para kaum eksistensialis memercayai bahwa ilmu pengetahuan
yang paling utama adalah pengetahuan tentang kondisi manusia. Oleh sebab itu,
pendidikan harus mengembangkan kesadaran dalam memilih.
- Pendidikan
dan Sekolah
Seperti halnya
perenialisme dan essensialisme, yang merupakan filsafat klasik,
eksistensialisme memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara,
mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih
menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi
diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para
ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya,
pendidik mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik
memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari
pendidik. Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek
akademis, yaitu suatu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang
solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan proses ”penelitian”,
melalui metode ekspositori dan inkuiri.
- Peranan
Pendidik/Guru
Seorang guru yang
eksistensialis akan mendorong siswa-siswanya untuk bertanggung jawab dan dapat
mengatasi dampak dari semua tindakan yang dilakukan mereka. Berani berbuat
berarti berani menerima konsekuensinya. Siswa harus menerima bahwa konsekuensi
tersebut adalah pilihannya. Namun di waktu yang sama sang murid tidak boleh menerima
begitu saja sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah.
- Tugas
Anak Didik
Menurut filsafat
eksistensialisme, orang akan terus menerus membuat pilihan, dan pada akhirnya
menegaskan diri sendiri. Kita adalah diri yang kita pilih, yang tercipta dengan
membentuk identitas diri sendiri. Karenanya, esensi yang kita buat adalah hasil
pilihan kita, yang tentu saja akan bervariasi pada setiap orang. Dalam
eksistensialisme para siswa disarankan untuk bebas memilih apa yang mereka
pelajari dan bagaimana
memelajarinya. Siswa harus bebas berpikir dan
mengambil keputusan sendiri secara bertanggung jawab. Dalam eksistensialisme
siswa dipandang sebagai mahluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggungjawab
atau pilihan suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pendidikan.
- Kurikulum
Eksistenliasisme menilai
kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu memiliki kontribusi pada pencarian individu
akan makna, dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal yang disebut
“kebangkitan yang luas”. .Pengembangan kurikulum yang berlandaskan
eksistensialisme akan menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan
tentang hidup dan makna dan untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya
sendiri. Kurikulum eksistensialis akan mencakup pengalaman- pengalaman dan
subjek-subjek yang mengantarkan mereka pada kebebasan individu dan pilihan
pribadi. Eksistensialisme mengutamakan kurikulum liberal, yang merupakan
landasan bagi kebebasan manusia.Kebebasan memiliki aturan–aturan.
- Materi
Pembelajaran
Dalam menentukan materi
pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan
dikembangkan. Dalam pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik
(perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran
menjadi hal yangutama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis
dan sistematis.
Kelebihan dan
Kekurangan Eksistensialisme:
Kelebihan:
§
Eksistensialisme sangat menghargai kebebasan dan keberadaan individu
§
Eksistensialisme menganggap hidup itu adalah sebuah perjuangan, tidak mengenal
kata pasrah dan menerima apa adanya, sehingga hidup ini harus selalu
diperbaiki.
§
Eksistensialisme menganut gaya hidup dinamis, penuh usaha, optimis menuju masa depan.
Kekurangan:
§
Eksistensialisme mengingkari fakta bahwa manusia
harus hidup bersosialisasi dengan manusia lainnya dalam hubungan bermasyarakat
§
Standar moralitas (benar atau salahnya) perilaku
seseorang dalam masyarakat, bukan ditentukan oleh pribadi seseorang, melainkan
oleh norma, aturan atau hukum yang menjadi kesepakatan di dalam masyarakat itu
§
Eksistensialisme mengabaikan nilai-nilai
moralitas secara objektif
C. Kesimpulan
Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu.
Sebenarnya eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat yang bersifat teknis,
yang terjelma dalam berbagai macam sistem, yang satu berbeda dengan yang lain.
Sekalipun demikian ada juga ciri-ciri yang sama, yang menjadikan sistem itu
dapat dicap sebagai eksistensialisme. Ciri yang dimiliki bersama itu
diantaranya menurut Harun Hadiwijono (1990) adalah sebagai berikut.
1)
Motif pokok adalah apa
yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang
bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini
ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanitis.
2)
Bereksistensi harus
diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara
aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat
manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.
3)
Didalam
eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah relitas yang
belum selesai, yang masih harus bibentuk. Pada hakikatnya manusia terkait
kepada dunia dan sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesama manusia.
4)
Eksistensialisme
memberi tekanan kepada pengalaman yang konkret, pengalaman yang eksistensial.
Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger memberi tekanan kepada
kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan
dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian,
penderitaan, perjuangan, dan kesalahan. (Harun Hadiwijono,1990, hlm. 149)
Pandangan
eksistensialisme dapat disimpulkan:
1)
Menurut metafisika (hakekat kenyataan), pribadi manusia tak sempurna, dapat
diperbaiki melalui penyadaran diri dengan menerapkan prinsip & standar
pengembangan kepribadian.
2)
Epistimologi (hakekat pengetahuan), Data-Internal–pribadi, acuannya
kebebasan individu memilih.
3)
Logika (hakekat penalaran), Mencari pemahaman tentang kebutuhan
& dorongan internal melaui analis & intropeksi diri.
4)
Aksiologi (hakekat nilai), Standar
dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih-diambil.
5)
Etika (hakekat kebaikan), Tuntutan
moral bagi kepentingan pribadi tanpa menyakiti yang lain.
6)
Estetika (hakekat keindahan), Keindahan ditentukan secara individual
pada tiap orang oleh dirinya.
7) Tujuan hidup. Menyempurnakan
diri melalui pilihan standar secara bebas oleh tiap individu, mencari
kesempurnaan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Surajiyo.
2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta : Bumi Aksara
____________. (2006). Eksistensialisme.
[online]. Tersedia: http://id.
wikipedia.org/wiki/
Eksistensialisme. [5 November 2008]
____________. (2008). Eksistensialisme.
[online]. Tersedia:
http://filsufgaul.wordpress.com/
2008/ 02/04/eksistensialisme/.
[11 November 2008]
Wibowo, Arif. (2008). Eksistensialisme.
[online]. Tersedia:
http://staff.blog.ui.edu
/arif51/2008/07/01/eksistensialisme/. [20
Oktober 2008]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar