Senin, 12 September 2011

ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI


ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI



A. Pendahuluan

  1. Sejarah Munculnya Eksistensialisme
Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa filosof terhadap filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan spekulatif tentang manusia. Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.
Eksistensialisme muncul pada abad ke- 19 oleh S. Kierkegaard (1813-1855) dan F. Nietzsche (1844-1900). Dalam abad ke- 20 eksistensialisme menjadi aliran filsafat yang sangat penting. Eksistensialisme seolah-olah menganggap bahwa sistem pemikiran atau pengatahuan yang sudah ada tidak mendukung kebahagiaan manusia. Oleh karena itu eksistensialisme lebih merupakan suatu aliran yang anti intelektualisme, antideterminisme, antisistem. Eksistensialisme berusaha menempatkan segala sesuatu sebagai bagian dari proses hidup dan kehidupan manusia yang tumbuh dan menyejarah. Eksistensialisme mencita-citakan kebahagiaan, kebebasan, manusiawi, menjauhkan alienasi, serta menjauhkan autentisitas.

  1. Perkembangan dan Para Tokoh Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938). Beberapa pemikiran dari tokoh filsuf mengaenai eksistensialisme yakni;



a.      Soren Aabye Kiergaard,  Filsuf Denmark (1813-1855)
filasafatnya untuk menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang individu”. Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan individualitasnya) Kiergaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard menjembatani jurang yang ada antara filsafat Hegelian dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard terutama adalah seorang kritikus Hegel pada masanya dan apa yang dilihatnya sebagai formalitas hampa dari Gereja Denmark. Filsafatnya merupakan sebuah reaksi terhadap dialektik Hegel.
Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi eksistensial.

b.      Jean-Paul Sartre
Adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme. Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre). Menurut Sartre adanya manusia itu bukanlah “etre”” melainkan “ a etre. Artinya manusia itu tidak hanya ada tapi dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak henti-hentinya.
c.       Friedrich Nietzsche,  filsuf jerman (1844-1900)                                                                               Tujuan filsafatnya adalah untuk  menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul”. Jawabannya, manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.
d.      Karl Jespers
            Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
e.       Martin Heidegger
Martin Hiedegger merupakan pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf saja yang mengerti pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara sistematis. Tujuan dari pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk menjawab pengertian dari “being”. Heidegger berpendapat bahwa “Das Wesen des Daseins liegt in seiner Existenz”, adanya keberadaan itu terletak pada eksistensinya. Di dalam realitas nyata being (sein) tidak sama sebagai “being” ada pada umumnya, sesuatu yang mempunyai ada dan di dalam ada, dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ada sebagai pengada. Heidegger menyebut being sebagai eksistensi manusia, dan sejauh ini analisis tentang “being” biasa disebut sebagai eksistensi manusia (Dasein). Dasein adalah tersusun dari da dan sein. “Da” disana (there), “sein” berarti berada (to be/being). Artinya manusia sadar dengan tempatnya. Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan
dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.


f.       F.Merleau Ponty
Didalam bukunya phenomenology de la perception [1945] merleau ponty mencoba untuk menarik kesimpulan-kesimpulan berdasar keadaan manusia sebaga kesadaran didunia. Manakala manusia sebagai kesadaran benar-benar mengarah kepada dunia melalui raganya ,maka pastilah ada kesatuan jiwa-raga didalam diri manusia ,yang pasti terdapat pula pada setiap perbuatanya. Dengan demikian berarti dalam batas-batas tertentu kesadaran senantiasa bersifat ragawi dan dalam batas-batas tertentu raga selalu bersifat kejiwaan.
Dalam hubungannya dengan metode penyelidikan kefilsafatan, hal ini berarti bawah baik emperisme yang semata-mata mengenal pengamatan secara murni inderawi maupun rasionalisme yang hanya mengenal pembentukan pengertian serta penjabar secara akali harus ditolak karenanya haruslah digunakan metode fenomenologi untuk memeperlihatkan fenomena manusia dalam bentuk penampilannya diantaranya yang paling murni.
Maka yang pertama-tama akan tampak ialah bawah manusia tidak terungkap sebagai obyek maupun sebagai kesadaran semata-mata, melainkan sebagai sesuatu bentuk ada yang khusus, yang didalamnya kesadaran serta keragawiannya merupakan aspek-aspeknya.









B. Hakikat Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi fenomenologi, atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme terhadap manusia adalah manusia adalah benda dunia, manusia itu adalah materi, manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi subjek.
Pandangan manusia menurut idealisme adalah manusia hanya sebagai subjek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme berkayakinan  bahwa paparan manusia harus berpangkalkan eksistensi, sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang kongkrit.
Eksistensialisme sendiri memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Pada umumnya kata eksistensi berarti keberadaan, tetapi di dalam filsafat eksistensialisme, ungkapan eksistensi mempunyai arti yang khusus. Eksistensi adalah cara manusia berada didalam dunia. Cara manusia berada dalam dunia berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, juga yang satu berada disamping yang lain, tanpa hubungan. Tidak demikianlah cara manusia berada. Manusia berada bersama dengan benda-benda itu. Benda-benda itu menjadi berarti karena manusia. Disamping itu, manusia berada bersama-sama dengan sesama manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan bahwa benda-benda “berada”, sedangkan manusia “bereksistensi”. Jadi, hanya manusialah yang bereksistensi.
Kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi, yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu, kata eksistensi diartikan manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada.
Bereksistensi oleh Heidegger disebut Dasein, dari kata da (di sana) dan sein (berada) sehingga kata ini berarti berada disana, yaitu ditempat. Manusia senantiasa menempatkan diri ditengah-tengah dunia sekitarnya sehingga ia terlibat dalam alam sekitarnya  dan bersatu dengannya. Sekalipun demikian manusia tidak sama dengan dunia sekitarnya, tidak sama dengan benda-benda, sebab manusia sadar akan keberadaannya itu.
Menurut Sartre adanya manusia itu bukanlah “etre”” melainkan “ a etre. Artinya manusia itu tidak hanya ada tapi dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak henti-hentinya.Menurut Parkay (1998) aliran eksistensialisme terbagi dua bersifat theistik (bertuhan) dan atheistik.
Menurut eksistensialisme ada 2 jenis filsafat tradisional, filsafat spekulatif dan filsafat skeptif
n  Filsafat skepekulatif menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak berpengaruh pada individu
n  Filsafat skeptif manyatakan bahwa semua pengalaman itu adalah palsu tidak ada sesuatu yang dapat kita kenal dari realita. Menurut mereka konsep metafisika adalah sementara
 Pendidikan  Dalam  Pandangan  Eksistensialisme

Karena pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia, dan pendidikan itu sendiri hanya bisa dilakukan oleh manusia, maka tampaklah jelas bahwa terdapat hubungan antara eksistensialisme dengan pendidikan. Pendidikan dan eksistensialisme bersinggungan satu sama lain dalam masalah-masalah yang sama, yakni manusia. Dalam hubungannya dengan pendidikan, filsafat eksistensialisme dapat ditinjau dari berbagai implikasinya, yaitu terhadap:
  1. Tujuan Pendidikan

Menurut eksistensialisme setiap orang itu adalah individu sendiri-sendiri yang tak akan mampu berkomunikasi murni dengan individu lainnya, oleh sebab itu tujuan pendidikan dalam pandangan eksistensialisme adalah menumpuk kemampuan individu menjadi diri sendiri yang sebaik-baiknya walaupun tak mungkin terbina hubungan murni dalam komunikasi sesame manusia (Rasyidin, 2007:24), dan untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri, serta memberikan bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan. Para kaum eksistensialis memercayai bahwa ilmu pengetahuan yang paling utama adalah pengetahuan tentang kondisi manusia. Oleh sebab itu, pendidikan harus mengembangkan kesadaran dalam memilih.
  1. Pendidikan dan Sekolah

Seperti halnya perenialisme dan essensialisme, yang merupakan filsafat klasik, eksistensialisme memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik. Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan proses ”penelitian”, melalui metode ekspositori dan inkuiri.
  1. Peranan Pendidik/Guru

Seorang guru yang eksistensialis akan mendorong siswa-siswanya untuk bertanggung jawab dan dapat mengatasi dampak dari semua tindakan yang dilakukan mereka. Berani berbuat berarti berani menerima konsekuensinya. Siswa harus menerima bahwa konsekuensi tersebut adalah pilihannya. Namun di waktu yang sama sang murid tidak boleh menerima begitu saja sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah.
  1. Tugas Anak Didik

Menurut filsafat eksistensialisme, orang akan terus menerus membuat pilihan, dan pada akhirnya menegaskan diri sendiri. Kita adalah diri yang kita pilih, yang tercipta dengan membentuk identitas diri sendiri. Karenanya, esensi yang kita buat adalah hasil pilihan kita, yang tentu saja akan bervariasi pada setiap orang. Dalam eksistensialisme para siswa disarankan untuk bebas memilih apa yang mereka pelajari dan bagaimana
memelajarinya. Siswa harus bebas berpikir dan mengambil keputusan sendiri secara bertanggung jawab. Dalam eksistensialisme siswa dipandang sebagai mahluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggungjawab atau pilihan suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pendidikan.
  1. Kurikulum

Eksistenliasisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu memiliki kontribusi pada pencarian individu akan makna, dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal yang disebut “kebangkitan yang luas”. .Pengembangan kurikulum yang berlandaskan eksistensialisme akan menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna dan untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Kurikulum eksistensialis akan mencakup pengalaman- pengalaman dan subjek-subjek yang mengantarkan mereka pada kebebasan individu dan pilihan pribadi. Eksistensialisme mengutamakan kurikulum liberal, yang merupakan landasan bagi kebebasan manusia.Kebebasan memiliki aturan–aturan.
  1. Materi Pembelajaran

Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Dalam pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yangutama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis.

Kelebihan dan Kekurangan Eksistensialisme:
Kelebihan:
§  Eksistensialisme sangat menghargai    kebebasan dan keberadaan individu
§  Eksistensialisme menganggap hidup  itu adalah sebuah perjuangan, tidak mengenal kata pasrah dan menerima apa adanya, sehingga hidup ini harus selalu diperbaiki.
§  Eksistensialisme menganut gaya hidup dinamis,  penuh usaha, optimis menuju masa depan.

Kekurangan:
§  Eksistensialisme mengingkari fakta bahwa manusia harus hidup bersosialisasi dengan manusia lainnya dalam hubungan bermasyarakat
§  Standar moralitas (benar atau salahnya) perilaku seseorang dalam masyarakat, bukan ditentukan oleh pribadi seseorang, melainkan oleh norma, aturan atau hukum yang menjadi kesepakatan di dalam masyarakat itu
§  Eksistensialisme mengabaikan nilai-nilai moralitas secara objektif























C. Kesimpulan
Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat yang bersifat teknis, yang terjelma dalam berbagai macam sistem, yang satu berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian ada juga ciri-ciri yang sama, yang menjadikan sistem itu dapat dicap sebagai eksistensialisme. Ciri yang dimiliki bersama itu diantaranya menurut Harun Hadiwijono (1990) adalah sebagai berikut.
1)      Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanitis.
2)      Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.
3)      Didalam eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah relitas yang belum selesai, yang masih harus bibentuk. Pada hakikatnya manusia terkait kepada dunia dan sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesama manusia.
4)      Eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkret, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan. (Harun Hadiwijono,1990, hlm. 149)
Pandangan eksistensialisme dapat disimpulkan:
1)      Menurut metafisika (hakekat kenyataan), pribadi manusia tak sempurna, dapat diperbaiki melalui penyadaran diri dengan menerapkan prinsip & standar pengembangan kepribadian.
2)      Epistimologi (hakekat pengetahuan), Data-Internal–pribadi, acuannya kebebasan         individu memilih.
3)      Logika (hakekat penalaran), Mencari pemahaman tentang kebutuhan & dorongan internal melaui analis & intropeksi diri.
4)      Aksiologi (hakekat nilai),  Standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih-diambil.
5)       Etika (hakekat kebaikan), Tuntutan moral bagi kepentingan pribadi tanpa menyakiti yang lain.
6)      Estetika (hakekat keindahan), Keindahan ditentukan secara individual             pada tiap orang  oleh dirinya.
7)      Tujuan hidup. Menyempurnakan diri melalui pilihan standar secara bebas oleh tiap individu, mencari kesempurnaan hidup.












DAFTAR PUSTAKA

Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara
____________. (2006). Eksistensialisme. [online]. Tersedia: http://id.
wikipedia.org/wiki/ Eksistensialisme. [5 November 2008]
____________. (2008). Eksistensialisme. [online]. Tersedia:
http://filsufgaul.wordpress.com/ 2008/ 02/04/eksistensialisme/.
[11 November 2008]
Wibowo, Arif. (2008). Eksistensialisme. [online]. Tersedia:
http://staff.blog.ui.edu /arif51/2008/07/01/eksistensialisme/. [20
Oktober 2008]



           




           




Tidak ada komentar:

Posting Komentar